besoksenin.co – Hidup adalah arena pertaruhan, siapa pun harus siap menang dan kalah. Pemenang akan tercatat dalam sejarah, sementara yang kalah akan hilang ditelan peradaban. Engga hanya taruhan, yang satu ini juga eksperimental, sebab tak pernah dilakukan di mana pun di seantero negeri dan benar-benar menjadi yang pertama. Memangnya apa pertaruhan besar yang dilakukan Bappedalitbang Majalengka?
Kami mengatur rencana untuk dipertemukan dengan Pak Yayan, Kepala Bappedalitbang Majalengka. Pagi itu kami disambut Alvita Handayani, perencana ahli muda Bappedalitbang, di lobby; yang memang sudah terbiasa dengan kami dan orang Bappeda paling sering kami temui. Di dalam ruangan Kepala Badan, kami sudah ditunggu oleh Momon Abdul Rahman, Kabid Perekonomian dan Sumberdaya, dan terakhir tentu saja Yayan Somantri, sebagai Kepala Bappedalitbang sendiri. Kehadiran mereka bertiga membuat kami seolah-olah bakal membicarakan hal yang sangat strategis dan serius. Ketiganya saling bersahutan menjawab pertanyaan kami, satu demi satu. Kadang, Pak Yayan melemparkannya kepada Pak Momon atau Bu Vita, “Bagaimana menurut Bu Vita?” tanyanya, sesekali.
Sebenarnya diskusi berjalan hangat dan tidak terlalu serius, sesekali hadir pula gelak tawa, namun pada jawaban mereka bertiga; kami bisa sampai pada kesimpulan bahwa program ini benar-benar sebuah pertaruhan besar nan eksperimental. Inilah Desa Tematik Kreatif.
Waktu itu, Majalengka terpilih menjadi Kota Kreatif Indonesia, mungkin karena larut dalam euforia tersebut, engga nanggung-nanggung, Bappeda langsung menggandeng ITB di program Desa Tematik Kreatif yang sedang mereka rancang. Tetapi, nyatanya itu bukan jaminan bahwa di depan semua akan berjalan lancar.
Sebelum itu, Bupati Majalengka Karna Sobahi meminta agar Komite Ekraf Majalengka berfokus pada desa, maka akhirnya mereka membuat “Membuat Program Desa Tematik Kreatif,” sebagai salah satu bagian dari roadmap yang disusun Majalengka sebagai Kabupaten Kreatif Indonesia.
“Ada banyak sekali program di desa, Desa Mandiri, Desa Cerdas, Desa Wisata dan lainnya. Permodelan, parameter, untuk Desa Kreatif sendiri belum ada,” kenang Pak Yayan, “Waktu itu kebetulan Majalengka menjadi kabupaten Kreatif Indonesia, (Kami berpikir) bisa engga nih kira-kira kalau kita menjadi model, tidak jauh beda (dengan program Kabupaten Kota Kreatif nasional), untuk menarasikan ini kita bekerjasama dengan ITB.”
Pada tulisan kali ini, kami akan berfokus pada alasan mengapa desa-desa ini bisa disebut sebagai korban.
Dari awal program ini memang agak tidak jelas, terkesan membingungkan. Hal ini disebabkan karena program ini eksperimental dan menjadi yang pertama di Indonesia. Sebenarnya, memang juga bisa dikatakan cukup hanya dengan menduplikasikan program Kabupaten Kota Kreatif ke skup yang lebih kecil, tetapi kesulitannya akan berlipat ganda ketika program ini dicoba diterapkan pada desa-desa di Majalengka, yang mayoritasnya tidak paham, tidak terbiasa dengan ekonomi kreatif. Terlebih, setiap daerah pasti memiliki pendekatannya sendiri untuk menyelesaikan sebuah masalah.
Ketika ITB selesai membuat aplikasi penilaian mandiri, maka aplikasi tersebut dilemparkan kepada publik. Untuk mendaftarkan desanya, aktor-aktor di desa bisa mengakses link penilaian di salah satu menu (website) eksotik. “Mandiri. Metode bottom up sangat berbeda dengan metode top down. Setiap orang memiliki suara, multisektor, dari ABCGM di desa,” oleh sebab itu, beberapa pemerintah desa yang terpilih ada yang merasa kaget karena merasa mereka tidak ikut mendaftar.
Mujur tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Ketika ITB selesai membuat aplikasi, penilaian mandiri bisa dilakukan, dan program DTK sudah bisa disosialisasikan; pandemi covid melanda negeri ini. Maka sosialisasi berjalan minimal, dan berusaha memaksimalkan media sosial. Ketika pendaftaran ditutup, hasilnya enggak buruk-buruk amat; nyaris 200 desa dari 300-an desa di Majalengka ikut mendaftar.
Bukan hanya menggugurkan kewajiban, program ini malah memilih berkelanjutan. Alih-alih sekedar dapat laporan, DTK malah bertahan terus-terusan. Bukan memberikan uang ke desa, desa justru dituntut untuk mengeluarkan modal, memeras isi kepala mereka sendiri.
Dari program-program DTK yang sudah dijalankan, terpilihlah 12 desa berikut; Kelurahan Cicenang, Desa Cimuncang, Desa Cisambeng, Desa Putridalem, Desa Nunuk Baru, Desa Rajagaluh Kidul, Desa Pasiripis, Desa Jatisura, Desa Leuwilaja, Desa Nanggerang, Desa Payung, dan Desa Borogojol. Ke-12 Desa ini tentu merasakan hal-hal yang sudah disebutkan di atas. Pada akhir kata, rasanya tak berlebihan kalau kami menyebut program ini sebagai program yang berani, percaya diri, dan tentu saja revolusioner!