besoksenin.co - Sekarang, bahkan di tengah pandemi: memiliki bisnis sendiri adalah impian bagi setiap orang. Sambil menunggu teman yang akan datang ke rumah, saya melahap satu bungkus joneng (nasi kuning), mencoba mengingat-ingat sesuatu: sejak bertahun-tahun yang lalu, saat Tol Cipali masih baru dan Bandara Kertajati belum rampung. Kongkow bersama teman-teman selalu dibarengi ajakan membuka bisnis.
Ketidaktersediaan sesuatu di kota kita seringkali menjadi acuan untuk membuka sebuah bisnis di Majalengka. Bulan lalu, seorang teman mengajak membuka sebuah cafe di daerah Maja. Dengan antusias, ini yang dia bilang, "Buka ieu yuk, nu kieu, kafe kieu can aya di Maja!"
Saya berhenti mengunyah, mengalihkan pandangan pada joneng tepat di depan mata. Kalau begitu, apakah membuat kerajaan joneng, di perumahan-perumahan yang sedang banyak dibangun di Majalengka, adalah ide brilian?
Yang berkata, "Ah, nu penting mah ngeunah" tidak salah. Yang berkata "Nu kieu can aya di Majalengka," juga tidak salah. (Dari poin ini, saya terpikir untuk menjual popcorn di Majalengka, karena NetFlix menjadi laris di tengah pandemi ini, tak lengkap rasanya menonton tanpa popcorn). Lagipula, memang benar saya tetap membeli joneng ini lagi dan lagi, karena rasanya enak. Konsep be the one juga ada, atau jadilah yang pertama. Dan yang harus diapresiasi adalah keinginan dan kepekaan kita dalam menangkap peluang.
Yang salah adalah, seringkali kita hanya terlalu fokus ke produknya saja. Beberapa tahun setelah KFC mendulang sukses di masa depresi berat, beberapa kelompok seantero negeri Paman Sam mencoba untuk menandinginya, dan mereka berhasil membuat ayam goreng yang jauh lebih enak. Tapi mereka tetap kalah. Kenapa? Karena orang-orang itu hanya fokus pada produknya saja, dan tidak menyinggung sama sekali soal cara penyajian di ember karton ala KFC. Mereka luput bahwa Colonel Sanders bukan hanya sekedar membuat ayam goreng, melainkan sebuah sistem. Ibu saya masakannya enak-enak, namun belum tentu ia bisa sukses di usaha kuliner. Tergantung apakah ia bisa membuat sebuah sistem atau tidaknya.
Saya sudah punya nama untuk joneng saya. Bagaimana kalau Joneng Joe Biden? Bisa disingkat Jojobi. Filosofinya sudah jelas: kemenangan. Selanjutnya popcorn Macron, bagus sekali karena rima, puitis. Macron juga mereprentasikan mereka yang suka melawan arus, yang mendukung Macron bukan karena benar-benar mendukungnya, melainkan biar beda, karena kebanyakan orang sedang mengutuk presiden Perancis tersebut. Popcorn hipster.
"Populer hanya akan membuat kita masuk daftar. Selanjutnya setelah itu, pelanggan akan memilih kita atau kompetitor,"
jawaban Ivan Seblak Ceker Naga, ketika saya bertanya apa nama dan kepopuleran saja sudah cukup padanya, "Kecuali kualitas kompetitor kita gagal tersampaikan," tambahnya. Saya bisa menganalogikan itu ke masa pemilihan bupati lalu, ketika bertanya pada para petani apakah mereka mengenal para calon bupati Majalengka, tepat sehari sebelum pencoblosan. Sudah bisa ditebak, mereka hanya kenal pada Karna Sobahi. Kemungkinan besar mereka membantu membuat Bupati yang menjabat sekarang menjabat itu menang, hanya karena terlalu samar dengan calon yang lain.
Bunyi klakson menghentikan lamunan. Saya harus mengakhiri tulisan ini karena teman sudah datang. Kami mulai berangkat, dan ketika keluar dari gang. Kalau di ingat lagi, jalanan Burujul telah berbeda dengan tiga tahun lalu. Banyak sekali toko baru buka, di depannya, ada stand-stand pedagang ikut berdiri. Dan saya yakin pemandangan ini, bukan hanya terjadi di desa saya, melainkan di tempat-tempat kalian juga. Di jalanan banyak ruko-ruko baru sedang atau baru selesai di bangun.
Saya tidak bermaksud menghalangi siapa pun yang bakal membuka bisnis, sambil menatap pedagang satu-persatu, berharap yang terbaik atas semuanya, dan bisa melewati masa sulit pandemi ini.
Saya percaya tak peduli itu Joneng Joe Biden, Popcorn Macron, atau ibu saya, selain keberuntungan dan Tuhan, bagaimana berjalannya bisnis mereka kelak, bakal kembali lagi dengan bagaimana mereka "berpikir". Jika banyak pekerjaan di luar sana yang menggunakan otak bisa digaji lebih tinggi. Maka sepertinya, di bisnis juga kita harus menggunakan isi kepala, bukan? Isi kepala untuk membuat sistem, merencanakan branding, dan memberi value pada produk kita, yang akan kita bahas di lain waktu.